AP Photo/Michel Euler
Senin lalu, wawancara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono disiarkan televisi Amerika Serikat di The Charlie Rose Show. Charlie Rose adalah seorang jurnalis AS. Baru-baru ini, ia datang ke Indonesia mewawancara sejumlah orang sebelum sesi tanya jawab dengan Yudhoyono.
Di wawancara itu, Rose menodong Yudhoyono dengan sejumlah pertanyaan menarik, seperti bagaimana ia menanggapi pendapat umum bahwa sang presiden kurang tegas, terutama dalam menghadapi sejumlah gerakan radikal, juga siapa yang ia persiapkan untuk 2014. "Saya belum temukan sekarang, tapi saya harap nantinya bisa mendukung seseorang," kata Yudhoyono.
Indonesia tak butuh orang kuat
Sebelum wawancara dengan Yudhoyono, Charlie Rose bertanya ke sejumlah tokoh, antara lain anggota Dewan Pers Bambang Harymurti, tentang kritik publik terhadap Yudhoyono yang dipandang kerap terlalu berhati-hati, dipandang lemah dan peragu. "Bagi saya pribadi, dan pendapat saya ini minoritas, rakyat Indonesia saat ini tidak butuh orang yang kuat, karena demokrasi justru bisa tak berfungsi. Mereka terbiasa dengan pemimpin yang kuat di masa lalu. Bila ingin demokrasi berhasil, harus ada perasaan bahwa demokrasi bergantung pada Anda," kata Bambang.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui naiknya radikalisme Islam, tapi tak mengkhawatirkan hal itu berkembang di luar kendali. Menurut dia, kelompok radikal hanya memiliki sedikit anggota. Ia yakin pemerintah bisa mengendalikan aktivitas kelompok radikal dengan cara menguatkan pemimpin-pemimpin agama melalui antara lain pendidikan.
Dalam pandangan dunia internasional, transisi Indonesia menuju demokrasi memang dipuji. Namun, kelompok-kelompok hak asasi menyuarakan masih adanya kekerasan terhadap minoritas yang justru meningkat di bawah era Yudhoyono.
Jalan tengah dianggap tak tegas
Februari lalu, tiga anggota Ahmadiyah dibunuh secara brutal oleh kelompok fanatik. Untuk menghadapi kasus semacam itu, agaknya kepemimpinan tegaslah yang dibutuhkan. "Saya pikir rakyat menginginkan Anda lebih tegas, bersuara lebih lantang mengenai pluralisme Indonesia," kata Charlie Rose.
Menanggapi itu, Yudhoyono mengatakan ia berhati-hati karena ingin meyakinkan orang Indonesia bahwa aksi melawan terorisme bukanlah menargetkan Islam. "Saya sangat ingin menyatakan bahwa kami sangat serius melakukan kampanye antiterorisme di Indonesia, dengan segala cara. Tapi, tentu saja, saya harus menjaga iklim persaudaraan di Indonesia, sebab mayoritas populasi adalah muslim, maka saya mencoba menjaga perasaan mereka, karena kadang-kadang kebijakan pemerintah disalahartikan," kata Yudhoyono.
Penyalahartian itu, kata Yudhoyono, datang dalam bentuk manipulasi bahwa kampanye antiteror itu adalah perang terhadap Islam. "Saya mencoba meyakinkan rakyat bahwa pemerintah melawan terorisme dan radikalisme," ujar Presiden.
"Kadang-kadang, saya bisa mengerti kenapa orang-orang menginginkan saya tegas dalam beberapa hal. Dalam banyak hal, saya mengambil keputusan cepat dan aksi tegas, karena itu dibutuhkan. Di sisi lain, masalah begitu kompleks. Saya tak ingin memecahkan satu masalah malah hanya menciptakan masalah lain."
Presiden memberi contoh saat menghadapi isu kelompok radikal. Satu kutub meminta Yudhoyono membubarkan sebuah sekte religius, sementara kutub yang lain memintanya jangan coba-coba karena kepercayaan adalah hak seseorang. "Jadi kebijakan saya adalah menghargai kepercayaan, tapi kami regulasi aktivitas untuk menghindari bentrok fisik antar dua kelompok itu," ujar Yudhoyono.
Presiden SBY menyebut itu sebagai "middle way approach". "Di sisi lain bisa dilihat sebagai kurang tegas. Tapi, dalam kasus ini, saya sangat percaya posisi inilah yang tepat. Bila tidak, akan muncul masalah lain."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar