Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Bandara Hasanuddin di Ibukota Indonesia Timur

Written By Mas Donny on Sabtu, 16 Juli 2011 | 17.51

Baiklah, hanya ada satu hal saya tidak suka dari Makassar: suara berisik dan terus menerus pengumuman di bandar udara Hasanuddin. Suara ini tidak jelas, dan saban hari dikabarkan banyak penumpang ketinggalan pesawat karena hal tersebut.
Soal akustik bandara ini sudah cukup lama dikeluhkan orang. Tapi rupanya perbaikan yang dilakukan belum berhasil. Menambah pengeras suara dan memperbesar suara tidak berguna, karena bukan faktor utama penentu kejernihan suara. Pokok soalnya ada pada waktu dengung yang terlalu panjang karena pantulan suara dari segala arah, dari dinding kaca di semua sisi, dan mungkin sedikit dari langit-langit melengkung.
Kalau Anda ingat dan memperhatikan bandara Incheon, Seoul, mungkin akan menyadari bahwa di sana hampir tidak pernah kedengaran ada pengumuman bersuara. Yang terjadi begini: hal-hal yang bersifat umum hanya diumumkan secara visual dengan layar besar. Pengumuman bersuara hanya dilakukan di masing masing ruang tunggu, dan hanya kedengaran di situ saja, padahal tidak tertutup seperti ruang tunggu Hasanuddin atau Soekarno-Hatta.
Kadang-kadang memang ada pengumuman menyeluruh, misalnya tentang keamanan, tetapi secara umum dan rutin kita tidak dengar suara bising pengumuman bertubi tubi dan berisik, tidak berkualitas jernih. Ini, selain karena rancangan sistem, juga didukung rekayasa teknik pengeras suara dan penataan ruangan yang hebat dengan bahan-bahan yang cukup menyerap suara, mengurangi dengung.
Jadi mengapa pengetahuan dan teknologi itu tidak sampai ke Hasanuddin?  Soal teknologi mungkin bisa dimaklumi. Tetapi pengetahuan tentang tata ruang yang menghasilkan suara yang jernih seharusnya sudah merupakan baku mutu minimum yang harus diterapkan pada semua bandara antarbangsa.
Apalagi Hasanuddin, di ibukota Indonesia Timur. Ya, Makassar bukan hanya ibukota provinsi Sulawesi Selatan, tetapi secara ekonomi praktis adalah ibukota Indonesia bagian Timur.
Masalah di bandara Hasanuddin bukan hanya soal akustik. Standar toilet juga sangat tidak layak, ruang sirkulasinya terlalu sempit untuk bandara seluas ini. Sekarang ini hampir selalu ada bagian yang selalu direnovasi. Instalasi pendingin ruangannya luar biasa buruk pengerjaannya, dengan cepat menjadi kotor dan menimbulkan kesan menjijikkan. Detail detail sambungan baja, yang menjadi unsur konstruktif utama bandara ini, juga sangat buruk, setidaknya secara visual.
Mengapa bandara yang secara garis besar mega dan berpotensi ini menjadi buruk pada wujud akhirnya?
Bila kita bandingkan dengan banyak fasilitas umum di negeri ini, termasuk halte bus di Jakarta, mungkin sebabnya sama. Ada "inefisiensi" mungkin sekitar 30 % yang tidak sempat jadi barang dan jasa, yang seharusnya mewujud sepenuhnya dari anggaran? Atau, adakah sebab lain?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar