Hi quest ,  welcome  |  sign in  |  registered now  |  need help ?

Mengajari Pemimpin Beretika

Written By Mas Donny on Jumat, 08 Juli 2011 | 11.43



Judul : Bertambah Bijak Setiap Hari: Lima Matahari
Penulis : Budi S. Tanuwibowo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : 185 halaman

Layaknya mesin lokomotif pada kereta api, pemimpin adalah penarik gerbong bangsa. Pemimpin bertanggung jawab secara moral kepada seluruh rakyatnya menuju kemajuan. Kepada pemimpinlah harapan seluruh rakyat digantungkan.

Namun, apa yang kita lihat belakangan ini sungguh memprihatinkan. Beratus drama dipentaskan para pemimpin kita dengan apik. Kebanyakan drama berisi kisah saling serang, saling menjatuhkan, memperkaya diri dan menutup kebenaran. Janji-janji manis yang pernah terucap seakan dilupakan. Kita pun bertanya-tanya. Apa tidak salah kita menggantungkan harapan kepada mereka.
  
Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang mengemuka pada buku ini. Walaupun secara eksplisit penulis tidak mengatakan, namun dari apa yang ditulis kita bisa menangkap bahwa sebenarnya ia ingin mengeritik polah-tingkah para penguasa yang jauh dari etika.
  
Dengan santun penulis mengemas kritik dan “nasihat” tersebut dalam puluhan kisah pendek. Ada kisah guru menasehati muridnya yang merupakan putra mahkota kerajaan. Ada obrolan santai namun berisi dari empat sahabat dan nasihat bijak dari beberapa tokoh panutan semacam Sheng Ren Kong Zi (Confusius) yang ditulis dengan bahasa populer.

Dalam “setan dan organisasi” penulis mengeritik manusia-manusia, terutama para elite di Indonesia yang senang terkotak-kotak dalam organisasi. Dari organisasi-organisasi itu banyak perpecahan tercipta. Setiap ada ketidaksamaan pandangan atau kekecewaan anggota sering keluar dan membuat kelompok sendiri dan tak berujung pada pertikaian. Organisasi yang awalnya menyatukan malah menjadi ajang baku hantam. (h.23)
  
Para pemimpin kita sering bertingkah laiknya anak-anak. Anak yang baru belajar bicara, pasti dia akan berbicara selam ia terjaga. Hanya terhenti kalau sedang tidur atau lelah. Demikian pula kebanyakan pemimpin kita. Mereka baru belajar bicara setelah sekian lama mulut dan pita suaranya tidak boleh digunakan. Sekarang, setelah bebas bicara mereka “belajar” saling mengeritik, menghina, menyerang, memfitnah dan menjatuhkan. hal ini dibahas dalam “Kata-kata dan empat ekor kuda.”

Dalam tulisan itu pemimpin dituntut untuk bisa memahami setiap keadaan sebelum berkata. Sebab perkataan seorang pemimpin adalah keputusan, komitmen, janji yang harus ditepati. Ibaratnya sekali kata atau janji terucap, empat ekor kuda tidak bisa mengejar atau menariknya kembali (h.114)
  
Dalam “Sepasang sayap kehidupan” dan “memperkuat mata rantai terlemah” penulis membahas pentingnya campur tangan pemerintah dalam memperkuat peran mata rantai yang masih lemah di negeri ini, perempuan.

Laki-laki dan perempuan ibarat sepasang sayap dari seekor burung. Burung tidak bisa terbang dengan cepat bahkan tidak bisa terbang selagi salah satu sayapnya ada yang sakit atau terbelenggu.  Begitu juga, sebuah bangsa tidak akan maju dengan cepat bila perempuan yang punya 50% saham masih belum terberdayakan.
  
Penulis juga menyoroti pentingnya sebuah kebijakan yang adil bagi petani yang mayoritas di negeri ini namun tidak sejahtera. Dalam “Huang Di, petani dan pertanian” penulis dengan panjang lebar “mengajari” para pemimpin kita bagaimana cara menyejahterakan bangsa dengan menyejahterakan petani. Di antaranya dengan menyediakan lahan yang cukup, kredit ringan, riset pertanian dan pembelian produk petani dengan harga standar oleh pemerintah.

Dengan meningkatnya kesejahteraan, daya beli petani akan naik. Hal ini tentu berpengaruh signifikan pada banyak hal, seperti perkembangan ekonomi negara, menguatnya sektor pertanian dan menurunnya arus urbanisasi (h.142).
  
Namun puluhan kisah dan judul cerita  dalam buku ini sepertinya bermuara pada satu tema besar –yang ditulis di awal buku- mengenai pemimpin yang harus selalu diterangi “5 matahari” dalam mengambil setiap keputusan. Sun of energy (matahari asli sebagai sumber energi dan penerang), love (cinta kasih), wisdom (kearifan), courage (keberanian) and knowledge (ilmu pengetahuan).
  
Intinya, pemimpin dituntut untuk memahami keadaan yang sebenarnya sebelum membuat sebuah kebijakan. Pemimpin harus mempertimbangkan rasa keadilan,  kemanusiaan, cinta kasih, kearifan dan berdasar pada ilmu pengetahuan. Namun semua kebijakan yang diambil tentu hanya menjadi teori/undang-undang jika tidak ada keberanian dari pemimpin untuk melaksanakannya.

Lima matahari tersebut adalah sebuah paket yang saling menopang dan melengkapi. Lima matahari itu harus menyinari kebijakan yang diambil para pemimpin untuk mencapai sebuah bangsa yang maju namun tetap beradab dan bermartabat.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar