Di seluruh dunia, setidaknya ada 1,6 miliar orang yang kehidupannya bergantung pada hutan serta produk-produknya. Dan sekitar 70% dari masyarakat adat dunia itu bisa ditemukan di Asia. Di Indonesia sendiri, diperkirakan ada sekitar 15 juta masyarakat adat yang menjadikan hutan sebagai ruang hidup dan sumber penghidupan mereka.
Produk hutan, buat mereka, bukan sekadar komoditas untuk dijual, tapi juga menjadi sumber makanan sehari-hari.
Sayangnya, kelompok masyarakat adat yang tersebar di Indonesia maupun dunia itu belum cukup terwakili atau terlibat dalam berbagai diskusi internasional soal pengelolaan hutan. Padahal dengan memiliki hutan tropis terluas ketiga di dunia, Indonesia sering menjadi sorotan.
Yang cukup awam terjadi adalah, hak-hak masyarakat adat di berbagai belahan dunia tidak diakui oleh pemerintah pusat. Hasilnya adalah berbagai konflik tanah atau lahan yang terjadi sehubungan dengan hutan.
Salah satu contoh kejadian di Indonesia, masyarakat adat yang sudah secara turun-temurun mengambil atau menjual hasil hutan adat, tiba-tiba dilarang masuk kawasan hutan karena wilayah tersebut sudah menjadi bagian dari kawasan kelola sebuah perusahaan tertentu.
Data dari Kementerian Kehutanan menyebutkan, saat ini ada 19.240 desa di 32 provinsi yang sedang mengalami konflik atas kawasan hutan. Batasan antara hutan masyarakat dan hak pengelolaan yang diberikan kepada sektor bisnis masih sering tumpang tindih.
Sementara itu, organisasi Rights and Resource Initiative malah mencatat ada 26 ribu desa di Indonesia yang tengah berebut jutaan hektar lahan hutan. Dan terdapat 85 konflik lahan yang berakhir dengan kekerasan terjadi di 33 provinsi di Indonesia tahun ini — naik dari hanya 50 pada tahun lalu.
Selain konflik yang berujung kekerasan, koordinator Rights and Resource Initiative Andy White dalam konferensi Pengelolaan Hutan, Pemerintahan dan Bisnis di Lombok, Senin (11/7) juga menyebut faktor kepadatan penduduk dan adanya ketidakseimbangan keuntungan buat perempuan dalam menikmati hasil-hasil hutan sebagai tiga masalah utama pengelolaan hutan di Indonesia.
Ketua Dewan Kehutanan Nasional Hedar Laujeung merujuk salah satu sumber masalah pengelolaan hutan pada perundang-undang yang berbias kolonial dan tidak ramah terhadap masyarakat setempat. Hutan langsung dianggap sebagai tanah negara. Padahal, Forum PBB untuk Hutan (United Nations Forum on Forests) sudah menegaskan, "Di mana ada hutan, pasti ada manusia di sana. Komunitas masyarakat adat di sekitar hutan sudah secara tradisional dan akan terus menjadi pemangku kepentingan utama."
Tetapi, menurut Hedar, hak-hak masyarakat atas hutan selama ini tidak diakui. "Padahal mereka sudah bermukim di hutan sebelum republik ini didirikan," tambah dia.
Sekjen Kementerian Kehutanan Hadi Daryanto juga membenarkan soal warisan kolonial sebagai salah satu akar masalah hutan di Indonesia. Bahkan undang-undang yang muncul pada masa Orde Baru (UU Nomor 5/1967) menyumbang pada munculnya konglomerasi hutan di masa itu. Reformasi kebijakan kehutanan yang terjadi sekarang, menurut Hadi, berfokus pada upaya menjadikan masyarakat adat sebagai majikan di hutan sendiri.
Desentralisasi, menurut Hedar, seharusnya memudahkan pengelolaan hutan. Sayangnya, proses tersebut tidak disertai perubahan paradigma. "Istilah kasarnya, seolah memindahkan pencuri dari ibu kota negara, ke ibu kota provinsi, dan sekarang ke kabupaten," ujar Hedar.
Seperti yang terjadi di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara, adalah pencurian sistematis oleh pemerintah daerah. Kawasan seluas 300 hektar ini merupakan hutan jati tertua di Indonesia, bahkan lebih tua dari kawasan hutan jati Meru Betiri, Jawa Timur.
Pemerintah akan membayar orang suruhan untuk menebang pohon-pohon tersebut. Selanjutnya, dilangsungkanlah operasi untuk merazia tebangan pohon jati tersebut. Setelah disita, kayu tebangan tersebut akan dilelang. Masyarakat pun marah dan berusaha mengklaim kayu-kayu tebangan tersebut. Kasus ini salah satu yang dimediasi oleh Dewan Kehutanan Nasional.
Konflik atas lahan hutan terus terjadi karena pendapat masyarakat desa dan pemangku adat tak pernah didengar dalam proses pemberian izin pengelolaan hutan. "Masyarakat baru kaget ketika tiba-tiba ada pengelola HPH masuk ke hutan," tambahnya.
Seharusnya, otoritas desalah yang mendapat wewenang besar atau menerima konsultasi ketika izin pengelolaan hutan akan diberikan. Untungnya sekarang adalah lebih ada kemauan politik dari pemerintah dan sisi bisnis untuk berdialog dengan masyarakat. "Di masa Orde Baru, dialog itu tidak mungkin ada. Tapi kini, opsi mediasi itu terbuka." ujar Hedar.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar